Citra Semu

Okky Febriansyah
6 min readApr 15, 2021

--

Dibalik kegelapan yang abadi, kutemukan sebuah ketulusan yang murni

Photo by Daniil Kuželev on Unsplash

3 Desember, pukul 9 pagi dalam sebuah klinik kecil, mendadak ada bebauan aneh yang entah datang dari mana.

Memang sudah sewajarnya jika momen kelahiran seorang bayi ke dalam dunia disambut dengan bermacam doa dan harapan. Namun, rasanya tidak demikian dengan bayi yang lahir satu ini. Tidak ada yang aneh kecuali mata-mata nya yang mengandung bercak coklat berserakan dan pupil yang lebih besar dari biasanya.

Seusai persalinan di sebuah klinik, di atas ranjang nomor 13 paling ujung sebelah jendela, yaitu tempat bayi itu turun ke dunia, dokter di rumah sakit tersebut pun belum mampu memberikan kesimpulan tentang apa yang sedang di derita bayi yang masih suci tersebut. Namun tanpa kehabisan akal, dan bukannya dengan obat, ia melontarkan berbagai kalimat penenang. Minimal untuk meredakan kesakitan, baik secara psikis maupun fisik.

Ia hidup dalam kondisi yang kurang baik di antara adik bungsu dan kakak sulungnya. Perempuan itu tidak jarang keluar dan masuk rumah sakit untuk menempuh pengobatan. Penyakitnya beragam. Dari mulai organ dalam hingga penyakit luar yang mengganggu. Sungguh lah itu tiada jadi masalah, selain karena kedua orang tuanya yang cukup mapan, ia juga sudah sangat terbiasa dengan keadaan semacam itu.

Dalam keseharian seorang perempuan yang lahir dengan bola mata yang tak biasa, bukan lah suatu hal yang menyedihkan kala berbagai cibiran menembus masuk telinganya.

Bagaimana tidak. Sehari-harinya, ia selalu mendapatkan tatapan aneh dari setiap orang yang ia temui. Tiada berbeda layaknya wajah ingin muntah. Tidak tahu dan tidak jelas apa yang ada di pikiran orang-orang itu. Bahkan seorang anak kecil yang ditemuinya di jalan, saat hendak pergi ke sebuah toko buku seberang universitas tempat ia menimba ilmu, dengan polosnya mengolok perempuan itu dengan kata-kata yang sangat kejam dan tidak manusiawi.

Seringkali itu biasa saja baginya. Bisa jadi karena ia sudah bosan. Tak jarang juga, ia menangis sedu saat apa yang dilontarkan beberapa orang terlalu menyakitkan untuknya. Orang-orang memang kelewat bangsat dalam berbicara, tanpa berkpikir bagaimana dan apa dampaknya. Kehinaan yang sesungguhnya, ada dalam mata orang-orang normal tersebut, yang selalu sibuk menilai dan menghakimi apa yang diperlihatkan oleh mata-matanya.

Parahnya lagi, hal ini bukan hanya membuat hati perempuan itu sakit, namun juga matanya. Saat menangis, ia merasa matanya bagai di tusuk besi mendidih layaknya dosa orang yang menonton vidio porno di neraka. Semakin mendalam kesedihan yang ia alami, semakin sakit pula tusukan-tusukan yang ia rasakan. Jika ada satu-satunya orang yang tidak boleh bersedih di dunia ini, itu adalah dirinya, si perempuan malang tersebut.

Selama proses penyembuhannya, ia membutuhkan zat psikotropika demi merawat emosinya yang kadang turun drastis. Ia tahu bahwa hal semacam itu tidak terlalu baik untuknya. Dokter juga menyarankannya begitu. Suatu hari saat ingin menebus obat-obatan keras tersebut, dokter memberitahunya bahwa dosis yang ia konsumsi telah mencapai taraf bahaya jika di lanjutkan.

Maklum, cuaca sedang tidak bagus di bulan Mei, yang mengakibatkan emosi manusia-manusia itu juga tidak stabil. Semakin buruk nasib mereka, semakin pedih apa yang diucapkan. Sialnya, bagi perempuan yang terlahir lemah lembut, menjadi baik adalah keniscayaan. Suatu hari, ia percaya, dunia akan jauh lebih baik. Setidaknya jika bukan hari ini, mungkin esok.

Tibalah pertemuannya dengan seorang laki-laki yang tak sengaja melintas lalu berhenti, yang seolah-olah menemukan berlian di tengah tumpukan kotoran yang menjijikkan. Itu adalah matanya, yang dengan sekejap mepercikkan sekelumit terang cahaya kebiruan yang berbinar. Ia terpatung sejenak ketika melihat perempuan itu.

Dengan cepat dan tanpa perlu memproses apa yang ada di balik laki-laki yang sedang diam mematung tersebut, seketika dengan nada sedikit pasrah perempuan itu berkata.

“Maaf tuan, tapi hari ini saya sudah cukup penuh menampung hinaan orang. Tolong datang lagi esok hari, jika berkenan” Dengan sangat sopan perempuan itu menjawab.

Laki-laki itu masih membatu. Barulah ia sadar ketika angin tak sengaja menyisir rambutnya.

“Tidak, tunggu dulu. Bolehkah aku mengetahui siapa namamu?”

Percakapan yang bersifat mukjizat itu terjadi sangat lambat. Entah bagaimana, si perempuan itu menikmati apa yang sedang terjadi. Seketika laki-laki itu mengajaknya untuk makan, dan kembali tanpa berpikir panjang perempuan itu mengiyakan. Di tempat yang tak disangka-sangka, di dalam sebuah restoran cepat saji, mereka kemudian saling bercakap melempar gurau sembari menyantap hidangan bersama. Laki-laki itu kemudian menukar sepiring nasi ayam 49 ribu dan menyerahkan nomor telepon miliknya. Dari sanalah awal mula perkenalan berlanjut. Kejadian itu terang bukan pertemuan biasa.

Makin hari, berganti malam, berganti bulan, kedua sejoli itu makin larut dalam kedambaan. Setiap jam di tiap pangkal malam diselingi dengan waktu bertukar kabar melalui pesan suara — oleh karena ketidakmampuan si perempuan menatap layar digital dalam waktu terlalu lama. Dalam keadaan kondisi mata yang sedang capai, ada kalanya mereka tak saling bertukar kabar selama beberapa minggu untuk mengistirahatkan mata perempuan itu dari pengaruh buruk layar biru. Sepi semacam ini bukan sepi seperti malam-malam biasanya — sepi yang penuh dengan kerinduan.

Dengan lambat tapi pasti, perasaan mereka semakin menjadi-jadi. Bagaimanapun jarak sudah tidak lagi relevan: mereka tumbuh oleh imajinasi yang dibuat sendiri.

Hari itu kemudian tiba juga.

Selang beberapa bulan sejak pertemuan terakhir mereka, ada sebuah kiriman yang mendarat di kediamannya. Dibebaskannya sekantong paket itu dari gumpalan plastik, yang kemudian di dalamnya terdapat sepucuk surat dan sekotak perhiasan. Ia sudah hafal betul dengan tulisan tangannya, namun kejanggalan mulai memenuhi kepalanya “Haruskah pesan ini benar-benar ditulis untuk menyampaikan pesan? Bukankah beberapa hari kedepan sudah bisa menghubungi saya lewat ponsel? Ah, dasar tidak sabaran!” Gumamnya dalam hati.

Di sepucuk surat yang ia terima, terdapat pesan dari seorang lelaki yang menerangkan bahwa ia telah mengalami cekcok yang luar biasa hebat dengan kedua orangtuanya, saat sedang meyakinkan mereka untuk meminang si perempuan itu. Berhari-hari dilalui namun hati mereka setebal batu. Hingga pada akhirnya ia meronta dengan kasar, meneriakkan kata-kata pemberontakan tepat di wajah orangtuanya. Bentakan ayahnya memecah langit, menumpas pipi dengan tamparan sebagai tanda peringatan. Beberapa hari lelaki itu pun dipaksa mendekam di kamarnya, sampai pada akhirnya ia menyerah dengan benar-benar pasrah.

Hal ini mungkin kecil bagi sebagian orang, namun tidak demikian bagi mereka. Disitu juga diterangkan bahwa lelaki tersebut dipulangkan kembali kepada tanah kelahirannya yang jauh, tanpa memberi sedikitpun petunjuk dimana tempat tinggalnya berada. Disana ia akan dijodohkan dengan perempuan yang seiman sesuai kehendak ayahandanya tersebut.

Hatinya seolah terbakar. Surat itu membawa pesan kematian akan harapnya, bahwa selama ini tiada tempat lain di dunia ia bisa diterima. Jantungnya serasa berhenti berdetak beberapa saat. Namun tanpa sadar seperti ada sesuatu melayang di sudut kamarnya. Barangkali hanya angin, atau mungkin sepasang malaikat yang diutus dari surga untuk mencabut kedua matanya.

Dua paragraf di akhir surat tersebut, berbunyi :

“Aku merindukanmu pada tiap malam-malam yang jatuh, saat kau sedang lelap dan memulihkan segala kesedihanmu. Sungguh, saat pertama kali aku melihat kehadiranmu, melalui kedua mata yang indah itu, bagai diiringi malaikat-malaikat yang bersenandung dari surga, juga melalui suara-suara lirih dan ringkih pada tiap pesan suara yang engkau kirim kepadaku.

Aku sungguh sangat mencintaimu, dalam sepi, dalam segala ketidakmampuan, dalam segala macam rentengan-tentangan sosial, dogma, dan pelbagai campuran budaya di dalamnya. Aku menerimanya sebagai suatu takdir tuhan yang ilahi dan murni”

Dalam doa terakhir yang ia panjatkan di akhir sabtu malam tanggal 1 September 2019, seluruh kesedihan yang tersimpan selama ini tak mampu terbendung. Nasib telah membuatnya babak belur habis-habisan. Sungguh bagai hujan lebat yang sekonyong-konyong mampir di tengah musim kering, saluran irigasi jebol tak kuasa lagi membendung. Ia menangis sejadi-jadinya dalam kamar yang terkunci rapat dan nampak tak seorang pun mendengar ratapannya tersebut.

Isabella, usia 22 tahun. Menderita kebutaan akibat kesedihan yang ia alami. Glaucoma adalah suatu kondisi dimana mata mampu memproduksi lebih banyak cairan, namun juga sebab impotensi dari sistem saraf drainase mata yang menahan seluruh tangis. Ketika air merembes keluar melalui kantung matanya, seketika dirinya dilumat oleh rasa sakit akibat tekanan bola mata yang luar biasa hebat, dan begitulah jalan nasib sehingga ia mampu kelihangan seluruh pengelihatannya tersebut.

Sebagian orang dengan hati yang murni mampu melihat sesuatu dibalik kedua matanya yang luar biasa indah. Tak hanya mengisyaratkan kesedihan, namun semacam keteguhan hati dan perjuangan, tangis yang berpadu harapan.

Keindahan yang bisa ia lihat terakhir kali, melalui kedua bola matanya yang mungil itu, adalah sebutir cincin kawin dari seseorang yang telah meninggalkannya kemudian. Satu-satunya memori terkuat yang dimilikinya.

Demikianlah, perempuan itu lagi-lagi dipaksa belajar untuk berdamai dengan keadaan. Namun, dalam kegelapan yang menimpa dan ia rasakan, ditemukannya sebuah cahaya ketulusan yang abadi. Mata itu mungkin tak mampu lagi melihat rupa, menangkap dan memercikan cahaya, tapi melalui kedua bola matanya itu, ia kemudian diberikan suatu kemampuan yang lain, kemampuan melihat sebuah kebenaran yang sejati.

Cinta itu memang buta, bagi sebagian orang yang mengalaminya.

--

--

Okky Febriansyah

Menyikapi berbagai persoalan dan problema kehidupan dalam satu wadah